Kamis, 01 Desember 2011

KEPRIBADIAN PENDIDIKAN INDONESIA

Berbicara mengenai pendidikan dinegeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya.Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara. sudahkan pendidikan kita sesuai dengan isi UU terebut? jawabannya tentulah belum.
Kondisi pendidikan kita saat ini begitu menyedihkan. ada banyak hal yang harus dibenahi dalam pendidikan kita ini, mengingat pendidikan adalah investasi  masa depan bangsa dan pengaruh dinamis terhadap perkembangan jasmani dan rohani atau kejiwaan anak bangsa kita , dimana mereka dididik agar bisa meneruskan gerak langkah kehidupan bangsa ini agar menjadi bangsa yang maju, berpendidikan dan bermoral. ini tentunya akan menjadi tugas dan tanggung jawab banyak pihak , orang tua, para pendidik (sekolah), masyarakat dan juga pemerintah. kewajiban kita untuk mengembalikan kondisi pendidikan kita ini agar menjadi pendidikan yang terbaik, bermutu serta cerdas dalam IPTEK dan IMTAQ. pendidikan yang bertujuan untuk membentuk generasi muda menjadi manusia haruslah menyangkut unsur-unsur spiritual, moralitas, sosialitas dan rasionalita, tidak hanya menekankan segi pengetahuan saja (kognitif)tetapi harus menekankan segi emosi, rohani dan hidup bersama. begitu juga dengan Ujian Nasional yang pemerintah canangkan sebagai bentuk penilaian terhadap hasil belajar siswa. kegiatan ini hendaknya tidak hanya sekedar menguji akan kemampuan siwa dalam hal lmu pengetahuan, akan tetapi juga menguji akan kemmpuan siswa dalam kerohaniannya. sesuai dengan tujuan dalam UU bahwa peserta didik hendaknya memiliki kekuatan spiritual keagamaan.
    Peserta terbunuhnya praja IPDN akibat pemukulan yang dilakukan seniornya telah mencoreng muka dunia pendidikan di indoneia. praja yang dididik untuk menjadi pengayom masyarakat malah menjadi pembunuh yang berdarah dingin. peristiwa IPDN tersebut merupakan salah satu dari bentuk penerapan sistem pendidikan yang sangat buruk. agar sistem pendidikan itu baik harulah memenuhi unsur-unur seperti yang tercantum diatas, tak lupa harus disertai dengan pengaturan internal pendidikan itu sendiri yaitu adanya penentuan kurikulum. kurikulum ini terkait dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai , artinya kurikulum yang menggambarkan kualitas lulusan yang akan dihasilkan, agar tercipta proses yang handal dalam rangka menghasilkan output yang memiliki mutu tinggi, berkepribadian baik, islami dan sesuai dengan harapan UU No.20/2003 diatas.wallahu a’lam.

MENYINGKAPI PELAKSANAAN “KTSP”

  Sejak ditetapkannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan) yang menggantikan kurikulum sebelumnya, yaitu KBK yang pelaksanaannya belum memberikan hasil yang optimal sesuai yang diharapkan oleh pemerintah. Dengan munculnya KTSP yang konon katanya kurikulum tersebut dapat mempermudah para guru dalam menentukan tujuan akhir dari pembelajaran tersebut dan dapat digunakan  atau dilaksanakan dimana saja, baik itu di kota maupun di daerah-daerah terpencil. Tapi anehnya semenjak ditetapkanya malah sebaliknya mengundang banyak pertanyaan dimana-mana, baik dikalanagan pemerintah maupun oleh kalangan para guru sebagai pelaksanan kurikulum tersebut sangat resah dan bingung dalam melaksanaannya. Akan tetapi pemerintah merespon pertanyan tersebut dari para guru agar tenang dan jangan resah dalam melaksanakannya dilapangan. Karena kurikulum tersebut hanya modipikasi  dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dalam hal ini KTSP juga dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/ sekolah, karakteristik sekolah/darah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik setempat. Dengan diberlakukannya KTSP yang katanya hanya untuk sebagai  penyempurna dari kurikulum sebelumnya dan untuk mengembangkan kualitas pendidikan kea rah yang lebih baik. Akankah hal itu dapat terwuju?. Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat pakta dilapangan tentang pelaksanaannya, sebagian besar para guru menggap perubahan tersebut  bukan sebagai suatu langkah dalam meningkat kualitas pendidikan. Karena sebagaian besar guru kurang mengerti dalam penyusunan dan pelaksanannya, untuk mengatasi hal tersebut sangat diharapkan  peran dari kepada pemerintah dan para gurudalam meningkatkan kualitas pendidikan yang diharapkan dari kurikulum tersebu.
Ada dua hal yang harus di perhatikan \pemerintah dan para guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang diharapkan.
Pertama, bagaimana peran guru dalam menyikapi diberlakukannya KTSP, karena kalau respon atau tanggapan guru terhadap diberlakukannya KTSP itu bukan sebagai perubahan, akan tetapi senbagai masalah dan penghambat dalam pelaksanaannya dilapangan, hal ini tidaklah mungkin akan terwujud kualitas pendidikan yang diharapkan.
Kedua, Bagi guru, kepala sekolah dan dewan pengawas dengan adanya KTSP ini agar menjadi iklim pembelajaran yang kondusip bagi terciptanya suasana yang aman , nyaman dan tertib, sehuingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan. Untuk meningkatkan kualitas peserta didik banyak kebijakan yang harus di perhatikan oleh elemen atau lembaga-lembaga yang ada di daerah atau sekolah tersebut dalam melaksanakan otonomi sekolah an kepemimpinan sekolah dan partisipasi masyarakat serta kemandirian guru dalam menyikapi perkembangan pendidikan pada zaman sekarang ini. Oleh karena bukan suatu yang mustahil tejadi kalau tujuan KTSP terseb dapat terwujud, semua ini tergantung kepada pribadi kita dan sekolah dalam menyikapinya.

WAJAH BURUK PENDIDIKAN INDONESIA

Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, sebab pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti sandang, pangan, dan papan, Namun, sangat miris rasanya melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Berbagai masalahpun timbul, mulai dari sarana yang tidak memadai, membengkaknya anak putus sekolah, kurikulum yang gonta-ganti, ketidakprofesionalan para pendidik, sampai kepribadian peserta didik yang jauh dari yang diharapkan.
Bila dilihat dari segi kualitas pendidikan kita, menurut penelitian Human Development Indeks (HDI) tahun 2004, Indonesia berada di urutan ke 111 dari 175 negara. Begitupun menurut majalah Asia Week yang melakukan penelitian terhadap Universitas terbaik di Asia, dalam majalah ini disebutkan bahwa tidak satupun Perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik.            UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas multidisiplin, UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, Unair diperingkat 75, sedangkan ITB diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan universitas nasional sains dan teknologi Pakistan. Selain itu dilihat dari kepribadian perilaku pelajar kita, tidak sedikit dari mereka yang tawuran antar sekolah atau antar perguruan tinggi, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, ataupun perilaku mereka yang sudah tergolong dalam tindak kriminal. Seperti geng motor yang kebanyakan anggotanya masih berstatus pelajar.
            Beginilah wajah buruk pendidikan kita, setidaknya bila kita cermati terdapat dua faktor  yang mempengaruhi gagalnya pendidikan yang berlaku di Indonesia. Pertama, paradigma pendidikan nasional. Kedua, mahalnya biaya pendidikan. Diakui atau tidak sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah sistem pendidikan yang memisahkan peranan agama dari kehidupan. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab ke VI tentang jalur jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus. Adanya pembagian pendidikan umum dan keagamaan yang terdapat pada pasal tersebut memberikan gambaran bahwasanya pendidikan kita memang dikotomi. Pendikotomian pendidikan melalui kelembagaan dapat terlihat dari pendidikan agama terdapat pada madrasah-madrasah, institut agama, dan pesantren. Dan lembaga-lembaga tersebut dikelola oleh Departemen Agama. Sementara pendidikan umum melalui Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Kejuruan, serta Perguruan Tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan seperti ini tentu saja tidak akan melahirkan peserta didik ayang memiliki kemamapuan menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi sekaligus juga memiliki kepribadian berupa perilaku yang mulia. Padahal tujuan pendidikan nasional sendiri adalah untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Saat ini mungkin tidak sedikit dari output peserta didik kita yang berhasil menguasai sains dan teknologi melalui pendidikan umum, namun tidak sedikit diantara mereka yang kurang memiliki kepribadian yang mulia. Apalagi saat ini ukuran kelulusan peserta didik hanya dinilai dari Ujian Nasional (UN) saja, artinya para peserta didik hanya ditujukan untuk menguasai materi saja tanpa nilai spiritualnya. Disisi lain, mereka yang belajar di pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan secara relatif memiliki kepribadian baik, tapi tidak sedikit diantara mereka yang buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern seperti perdagangan, industri, jasa dan lain-lain diisi oleh orang yang relatif awam terhadap agama.
            Permasalahan mengenai biaya pendidikan pun ikut menambah buramnya kualitas pendidikan kita. Di zaman sekarang memang untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik harus menelan biaya yang tidak sedikit. Masyarakat yang kurang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah yang kualitas pendidikannya bagus terpaksa hanya mendapatkan di sekolah yang terbatas sarana dan prasarananya. Di daerah-daerah banyak sekolah yang kurang berfungsi dengan baik, diantaranya kerusakan bangunan, sarana terbatas, namun dengan kondisi tersebut mereka tidak putus semangat untuk tetap terus belajar walaupun dengan fasilitas seadanya. Tidak dipungkiri bahwa tiap tahunnya, setiap jenjang pendidikan terus mengalami kenaikan biaya pendidikan, akibatnya banyak diantara mereka yang putus sekolah, atau bahkan tidak sekolah karena terhalang masalah biaya. Bagaimana mungkin tetap mencapai tujuan nasioanal yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa ?! Memperoleh pendidikan pun sulit untuk diperoleh !
            Oleh karena itu, perlu adanya penyelesaian problem pendidikan secara mendasar yaitu dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh mulai dari merubah paradigma pendidikan nasional yang memisahkan pendidikan umum dengan pendidikan agama, menjadikan peranan agama sebagai landasan dalam proses pendidikan. Pendidikan agama tidak hanya diberikan satu kali dalam seminggu tapi juga harus dijadikan dasar atau landasan bagi mata pelajaran lainnya, sehingga akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya menguasai sains dan teknologi tapi juga memiliki akhlak yang baik. Selain itu juga untuk mengatasi komersialisasi pendidikan diperlukan peranan negara dalam hal ini pemerintah untuk melakukan upaya yang sistematis merubah paradigma pendidikan yang komersial dengan menyediakan sarana dan sarana pendidikan yang memadai, bermutu tinggi, dengan biaya yang dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat tanpa ada perbedaan berdasarkan kualitas pendidikan ditentukan oleh berapa besar biaya pendididkan yang dikeluarkan. Peran serta pemerintah ini sebenarnya sebagai bagian dari pelayanan terhadap masyarakat dalam hal mencapai tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian dari perubahan tersebut akan melahirkan peserta didik yang berkualitas sehingga mampu memegang peranannya sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa pada kemajuan.

UN, Salah Siapa?

Beberapa tahun ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang gencar dalam meningkatkan “mutu pendidikan” yang diukur dengan lulus tidaknya seorang siswa dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Sehingga diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas untuk mendongkrak kesuksesan di masa depan. Akan tetapi, kelulusan tidak diputuskan oleh sekolah yang bersangkutan melainkan ditetapkan oleh pemerintah dan diukur dengan standar nilai yang telah ditentukan.
            Dengan adanya peraturan yang seperti itu, maka seorang siswa divonis lulus jika nilai yang dihasilkan dalam Ujian Nasional (UN) memenuhi standar nilai yang telah ditentukan oleh pemerintah. Lalu apa artinya belajar sekian tahun di sekolah, jika yang menentukan kelulusan hanya Ujian Nasional (UN) yang hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja. Tapi apa gunanya kita mempermasalahkan keputusan pemerintah ini, toh peraturan ini telah dilaksanakan dalam beberapa tahun ini. Tapi, apa yang terjadi dibalik Ujian Nasional (UN)? Dari tahun ke tahun selalu saja ada kontroversi yang terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dan kejadiannya pun bermacam-macam.
            Pertama, banyaknya siswa yang tidak lulus. Kontroversi ini lebih terasa di tingkat SMA. Dalam kejadian ini siswa merasa di rugikan dengan adanya peraturan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) melalui standarisasi nilai yang telah ditetapkan. Siswa merasa  pemerintah tidak adil, karena perjuangan siswa selama 3 tahun belajar di sekolah hanya dinilai dengan beberapa mata pelajaran yang diujinasionalkan. Yang ironisnya, dari sekian banyak siswa yang tidak lulus itu, ternyata ada pula siswa yang kesehariannya berprestasi di sekolah termasuk ke dalam golongan siswa yang tidak lulus. Padahal siswa tersebut telah dipastikan dapat menempuh Ujian Nasional (UN) dengan nilai yang sangat memuaskan. Tapi kenyataan berkata lain, sungguh menyedihkan.
            Kedua, adanya kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Dengan adanya kontroversi yang pertama, intansi sekolah merasa takut dan pesimis terhadap kemampuan para siswanya. Dengan itu sekolah pun berupaya agar para siswanya 100% lulus, tapi sayang jalan yang ditempuh oleh beberapa intansi sekolah sangatlah tidak sportif, yaitu dengan cara membantu siswa dalam mengisi jawaban soal Ujian Nasional (UN) dengan memberikan jawaban soal kepada siswa. Yang anehnya, mengapa soal Ujian Nasional (UN) dapat dengan mudah jatuh ke tangan beberapa intansi sekolah. Padahal soal-soal tersebut telah dijaga dengan seaman mungkin, tapi tetap saja itu tidak menjamin.
            Ketiga, dengan adanya kontroversi yang kedua, menjadi pemicu bagi siswa untuk berleha-leha dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) karena siswa berpikiran pasti  dibantu oleh sekolahnya toh tidak ada intansi sekolah yang menginginkan siswanya tidak lulus. Dengan demikian, apakah semua ini yang disebut meningkatkan “mutu pendidikan”? 

GURU YANG SESUNGGUHNYA IKUT MENANGIS

Berangkat dari sebuah pertanyaan: “Siapakah yang patut disalahkan atas kebobrokan moralitas generasi bangsa pada masa pancaroba ini?”
Sungguh sebuah keprihatinan yang mengiris hati sanubari bagi orang-orang yang merindukan keluhuran moralitas, akhlak dan harga diri yang bernilai bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Betapapun kemajuan teknologi yang begitu cepat dalam berbagai hal, bukan berarti malah menjadikan kemajuan itu sebagai senjata yang meracuni perilaku dan akhlak generasi bangsa ke arah negatif, atau mungkin sengaja membiarkan sebuah arus negatif yang akan membawa mereka kepada kehancuran.
Tidaklah demikian, bagi orang yang mengerti dan memahami esensi modernisasi zaman. Sudah seyogyanya mereka mampu menela’ah secara kritis pengaruh positif dan negatifnya, sehingga pada akhirnya diharapkan mampu untuk mem-back up krisis multi dimensi di kalangan generasi bangsa.
Mari kita telusuri bersama, apa yang menjadi akar permasalahan sehingga bangsa ini belum mampu untuk mewariskan generasi bangsa yang unggul, yang bermental kuat iman dan fisiknya, yang cerdas, terdidik dan berintelektual tinggi, generasi bangsa yang jauh dari sikap berleha-leha melainkan senantiasa bekerja keras, terampil, produktif, aktif, dan inovatif, generasi bangsa yang mandiri , kritis dan memiliki sikap dewasa dalam menyikapi segala hal, generasi bangsa yang bangga akan keagungan jati diri bangsanya, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan akhlak.
Inilah yang semestinya kita perjuangkan bersama, untuk mengestafetakan perjuangan untuk perubahan nasib generasi bangsa. Adapun hal-hal yang harus kita kritisi bersama atas terjadinya kebobrokan moralotas generasi bangsa ini:
1.      Tidak adanya perhatian yang khusus pada pendidikan.
Pendidikan adalah pondasi dasar utnuk membangun sebuah peradaban di dunia ini, semua itu terbukti dari masa yang silam sejarah perkembangan pendidikan telah mampu memberikan jaminan untuk menghantarkan manusia pada kehidupan yang lebih baik. Mari kita sadari, pendidikan adalah tanggung jawab bersama, yang seharusnya diberikan perhatian khusus dari semua unit di negeri ini, bukan hanya sekedar dititikberatkan pada lembaga pendidikan formal dan guru saja, yang dianggapnya memiliki peranan penting untuk membentuk generasi bangsa. Tetapi kita pun tidak bisa menafikan bahwa sebuah lembaga pendidikan dan guru memiliki keterbatasan dalam hal itu. Agar pendidikan mampu bergerak secara optimal, maka keterlibatan semua komponen haruslah terjalin, baik itu dari keluarga, lembaga pendidikan formal, masyarakat dan pemerintah.
Contoh utamanya adalah komponen keluarga. Komponen inilah yang paling berperan, sehingga dituntut memiliki kepekaan kontrol dalam mengawasi pergaulan anaknya:
Dalam hal ini Dadang Hawari mengemukakan, “ Perubahan-perubahan yang begitu cepat sebagai konsekuensi globalilsasi, modernisasi, industrialisasi, dan iptek telah mengakibatkan perubahan pada nilai-nilai kehidupan social dan budaya. Perubahan itu antara lain pada nilai moral, etika, kaidah agama, dan pendidikan anak dirumah, pergaulan dan perkawinan, perubahan ini muncul karena pada masyarakat modern telah terjadi pergeseran pola hidup yang semula bercorak social religius ke pola individual, matrealistis dan sekuler. Salah satu dampak perubahan itu adalah terancamnya lembaga perkawinan yang merupakan lembaga pendidikan dini bagi anak dan remaja. Dalam masyarakat modern, telah terjadi perubahan dalam mendidik anak dan remaja dalam keluarga, misalnya orangtua banyak memberikan kelonggaran dan serba boleh pada anak. Demikian pula pola hidup konsumtif telah mewarnai kehidupan anak, yang damapaknya adalah kenakalan remaja, penggunaan narkoba, alcohol dan zat aditif lainnya. “
Di sisi lain, komponen pemerintah, penegak hukum, para pakar di bidang media, budaya, seni dan tokoh masyarakat sudah sewajibnya memberikan corak warna yang mempesona kepada generasi bangsa dengan pendidikan sehingga virus kebobrokan moralitas generasi bangsa ini bisa teratasi.
2.      Konsep pendidikan yang melupakan jati diri bangsa.
Hal ini seringkali kita lupakan : sebuah pembentukan generasi bangsa yang memiliki jati diri bangsanya sendiri , melalui jalan konsep pendidikan. Hal ini seharusnya mampu mewarnai para generasi bangsa yang diarahkan pada kemajuan intelektual yang memiliki kesadaran penuh untuk membangun dan membesarkan nama bangsanya sendiri. Akan tetapi semuanya itu pudar terbawa arus gelombang kelonggaran dan kebiasan dalam menentukan konsep pendidikan di negeri ini sehingga para generasi unggulan yang bisa diharapkan malah beralih, menjauh dan meninggalkan kekhasan jati diri bangsa sendiri. Dan pada akhirnya muncul produk-produk manusia tanpa jati diri.
3.      Pendidikan yang dikomersilkan.
Nun jauh disana kita sebagai rakyat biasa seringkali terjebak dengan keindahan bahasa dari para penguasa mengenai peningkatan kualitas mutu pendidikan yang tidak terhingga mahalnya, mulai dari jenjang terendah hingga jenjang teratas. Hal ini membuat rakyat biasa merasa tertekan dan frustasi untuk menyeimbangkan kebijakan penguasa yang tidak terarah.
Bukankah pndidikan itu infestasi masa depan? Yang bisa menjamin kemajuan sumber daya negeri ini? Namun faktanya, jalan untuk menempuh itu, pendidikan selalu dikomersilkan, yang mengakibatkan sistem pendidikan rusak.
4.      Metode pembelajaran hanya sekedar transfer ilmu
Dalam proses kegiatan belajar mengajar seorang guru ataupun dosen memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik. Bukan hanya sekedar transfer ilmu, namun hendaknya diupayakan transfer ilmu itu membekas pada pengamalan.
5.      Lunturnya pribadi guru dari jiwa kharismatik.
Jika kita ambil perbandingan peran guru di masa kini dengan masa dulu, ada sebuah pergeseran peran yang cukup jauh, mengapa hal ini bisa terjadi? Dulu, guru mampu beperan sebagai pengganti orangtua disertai memberikan pengajaran dengan penuh perhatian, perjuangan, pengorbanan, kesungguh-sungguhan, dengan do’a , cinta dan keikhlasan, jiwa keteladanan, sehingga mampu menghujamkan pengaruh yang luar biasa ke pribadi-pribadi anak didiknya. Saat itu guru dipandang sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru, dimuliakan dan dihormati. Memang seharusnya seperti itulah cerminan seorang guru yang memiliki jiwa kharismatik dan tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya.
Sebagai pertanyaan, “ masih melekatkah jiwa kharismatik didalam pribadi guru masa kini?” jika masih, seberapa jauhkah mata hati meninjau kondisi generasi bangsa yang sat ini terlihat carut-marut, kebobrokan para pelajar begitu terlihat jelas, nilai2 agama disepelekan, tata krama dan sopan santun dalam bersikap dianggap sebagai sesuatuyang norak, kebebasan sex sudah menjadi kewajaran, munculnya kebrutalan di kalangan pelajar, gaya hidup hedonis dan kelemahan akal serta mental membentuk generasi yang mudah frustasi, enggan belajar keras untuk meraih kelulusan karena bertumpu pada finansial.
Sejauh manakah guru masa kini menyikapi masalah ini?
Sejauh manakah esensi pengajaran yang telah disampaikan?
Seorang guru yang bijak akan membuang jauh sifat apriorinya dan berkata dari lubuk hati yang terdalamnya “ ini adalah sebuah kelalaian yang berlarut-larut, yang tidak bisa dibenahi dalam waktu yang singkat.” Atas ketidakberdayaan, guru yang sesungguhnya turut menangis.

Pendidikan pada era informasi adalah pendidikan berbasis teknologi komunikasi dan informasi.

Pendidikan pada era informasi adalah pendidikan berbasis teknologi komunikasi dan informasi.
Pendidikan berbasis ICT ditandai dengan dimanfaatkannya banyak teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran. Salah satu bentuknya yang nyata adalah berkembangnya pembelajaran melalui e-learning atau online course. Tersedianya berbagai tools dan opsi untuk synchronous dan asynchronous learning membuat sekolah dan universitas mudah mengadopsi inovasi tersebut. Meskipun tidak sedikit diantara mereka yang bingung memilih. Contoh pemanfaatan asynchronous tools yang telah berkembang saat ini antara lain dalam bentuk forum diskusi online, ujian online, meng-upload dan men-download.

Sedangkan contoh pemanfaatan synchronous presentation tools antara lain melalui audio/video streaming, dan polling. Selain itu masih tersedia teknologi lain yaitu teknologi nirkabel (wireless) dan mobile technologies. Melalui apa yang disebut information superhighway,kini tersedia infrastruktur yang mampu memberikan layanan yang luar biasa kecepatannya. Tersedianya satelit generasi baru dengan orbit bumi yang rendah telah memungkinkan timbulnya frekuensi baru untuk komunikasi terrestrial. Secara wireless pertukaran informasi berupa teks, audio dan video dapat dilakukan dengan mudah.

Singkatnya kini pendidikan berbasis Web atau internet telah menggejala dan dapat dengan mudah Anda ikuti. Meskipun demikian masih banyak orang yang mempertanyakannya. Ada yang optimis dan banyak yang pesimis. Ada yang menemukan ironi bahwa “there is no learning in e-learning” (Bonk, 2004). Marilah kita lihat salah satu hasil kajian yang terkait dengan hal tersebut. Curtis J. Bonk, professor di Indiana University yang telah melakukan berbagai penelitian tentang e-learning sejak 2001,salah satunya dalam laporan bertajuk “Online Teaching in an Online World” mencatat bahwa kini semakin banyak instruktur, guru dan professor yang mempelajari dan menerapkan online teaching. Hal yang menarik pada 2003-2004 kebanyakan mereka adalah wanita (53%).

Keterampilan penting yang mereka pelajari secara online adalah tentang bagaimana memfasilitasi pembelajaran dan bagaimana mengembangkan online course. Kini di Amerika telah berkembang berbagai mitos berkaitan plus minus online learning, tetapi semakin banyak yang menawarkan pembelajaran secara online. Siswa pun semakin menggemari simulasi dan pengalaman virtual di lingkungan virtual, serta menyukai sekaligus terampil memanfaatkan buku elektronik yang disajikan secara hypertext.

Persyaratan terselenggaranya pendidikan berbasis teknologi komunikasi dan informasi (ICT)
Pendidikan berbasis ICT dapat terselenggara dengan baik apabila persyaratan yang terkait dengan ketersediaan teknologi, penguasaan pengetahuan dan keterampilan untuk pengembangan content,dukungan policy dan kesiapan masyarakat dipenuhi. Tanpa keempat syarat minimal tersebut dipenuhi mustahil pendidikan semacam itu akan terlaksan.

Pemerintah Wajibkan PTN Terima Peserta Didik yang Kurang Mampu

Menjelang tahun pelajaran dan tahun perkuliahan 2011 – 2012 ini masyarakat yang mempunyai keterbatasan di bidang ekonomi akan mendapatkan angin segar, pasalnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pada pasal 53A telah diatur adanya kewajiban bagi satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi milik pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan paling sedikit 20% bagi peserta didik yang mempunyai kemampuan akademik memadai akan tetapi punya keterbatasan di bidang ekonomi.
Bukan itu saja, pada ayat (2) peraturan pemerintah ini juga diatur adanya kewajiban bagi satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi milik pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk menyediakan beasiswa bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang berprestasi.
Sedangkan pada ayat (3) di nyatakan adanya kewajiban bagi satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi milik pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berkewarganegaraan Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orangtua atau pihak yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.
3 (tiga) hal pokok yang tercantum dalam pasal 53A Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 ini merupakan suatu yang baru dalam sejarah pendidikan di Indonesia sejak berdirinya negara ini. Oleh karena itu diharapkan semua pihak dapat menyadari pentingnya peraturan ini dilaksanakan sesuai dengan masa pemberlakuannya.
Saat ini masih banyak pihak yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan merupakan investasi masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dan lebih mapan, padahal sesungguhnya pendidikan itu merupakan salah satu kewajiban pemerintah dalam rangka mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa yang cerdas dan mempunyai daya saing dalam pergaulan global.
Apresisasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya patut diberikan kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta seluruh Kabinet Indonesia Bersatu II yang telah memberikan ruang bagi masyarakat dan seluruh warganegara Indonesia yang mempunyai kemampuan akademik memadai tetapi mempunyai keterbatasan ekonomi.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 ini tentunya masih membutuhkan komitmen dari berbagai pihak untuk dilaksanakan demi untuk mempersiapkan calon calon pemimpin bangsa Indonesia ini ke depan, utamanya para pengelola satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan tinggi milik pemerintah dan pemerintah daerah.